Jumat, 30 September 2011

Rumah Dara


Pecinta film dengan genre slasher macam sequel Saw, atau Hostel tentu tak akan melewatkan film ini. Film slasher pertama besutan sineas muda Indonesia ini akan membawa penonton dalam ketakutan

Industri film di Indonesia sempat dibuai oleh film genre horor klasik yang menampilkan hantu berambut panjang dengan gaun putih yang menjuntai kepanjangan. Atau kali lain dihidangkan hantu paling menakutkan seperti pocong yang membuat bulu kuduk berdiri. Mendekati pekan-pekan ini, jenis film horor dengan hantu seksi dengan aroma berbau-bau sex juga banyak dijumpai di Layar Bioskop yang ironisnya, justru film-film semacam ini lah yang laku dipasaran.

Tapi awal tahun 2010, jangan kaget jika Mo Brother (Kimo Stamboel dan Timo Tjahjanto) akan menghantui anda dengan film Rumah Dara. Sama-sama mengundang kengerian, film versi panjang dari film Macabre ini akan menghantui tanpa perlu menghadirkan sosok hantu klasik yang justru terlihat lucu akhir-akhir ini.

Kedua Sineas muda ini mengajak penonton menikmati kesadisan dan kengerian dalam film bergenre Slasher. Jenis film sadis yang jarang dibuat di Indonesia setelah Pintu Terlarang besutan Joko Anwar. Mo Brother adalah dua orang yang disatukan karena memiliki kesamaan nama Mo. Kecintaan mereka pada film dengan jenis slasher membuat perkawanan mereka makin akrab dan sama-sama membuat film dengan genre sejenis. Film awal yang mereka buat yakni Alone (Sendiri) film slasher yang tak kalah mengerikan. Kedua, film Rumah Dara yang merupakan versi panjang dari film pendek besutan mereka berjudul Dara, atau yang di Singapore berjudul Darah dah Macabre versi Inggris.

Kimo dan Timo mampu membuat penonton menjerit ngeri, tanpa harus melihat sosok hantu yang menakutkan. Namanya saja film slasher, yang ada justru penonton disuguhi adegan kekerasan yang cenderung kejam, dengan tangan yang patah (sampai terlihat tulang yang mencuat), darah yang semburat, dan adegan-adegan menegangkan lainnya. Film Rumah Dara yang versi uncensored sendiri sebenarnya sudah mulai bisa dinikmati sejak pagelaran Jiffes beberapa pekan lalu di Jakarta.

Rumah Dara sendiri bercerita tentang pembantaian yang dilakukan oleh keluarga Dara (Shareffa Danish), Maya (Imelda Therine), Adam (Arifin Putra) dan Arman (Ruli Lubis) keluarga yang telah hidup ratusan tahun itu membunuh satu demi satu kelompok anak muda yang terjebak dirumah mereka.

Cerita dimulai ketika kelompok anak muda Ladya (Julie Estelle), Adjie (Aryo bayu), Astrid (Sigi Wimala), Jimi (VJ Daniel), Eko (Dendy Subangil) dan Alam (Mike Lucock) sedang melakukan perjalanan dari Bandung menuju Jakarta. Namun ditengah jalan, mereka hampir menabrak Maya. Dalam salah satu bagian cerita, Maya merupakan korban perampokan. Karena kasihan, kelompok Anak muda itu kemudian mengantar mereka ke rumah Maya.

Disinilah kemudian cerita terus bergulir memacu adrenalin hampir tanpa henti. Pembantaian demi pembantaian disajikan dengan nyata dan berdarah-darah. Jalinan cerita menjadi tidak penting lagi karena lebih dari separuh film ini menyajikan adegan kekerasan cenderung ke kejam. Bagi penggemar film slasher, sudah barang tentu akan menyukai setiap adegan dalam film ini. mata yang tertusuk stiletto, kepala yang terpenggal, kaki patah, tangan terpotong, hingga jari-jari tertusuk pisau disajikan dengan nyata

“Kita memang sengaja menyajikan film ini, karena kita pikir perkembangan film di Indonesia tak ada yang menyajikan genre ini,” ujar Timo usai preview Rumah Dara di Jakarta, kemarin

Baik Kimo maupun Timo memang tidak berharap terlalu banyak pada banyaknya penonton. MO Brother hanya ingin memberikan pandangan bahwa di Indonesia, pada kenyataannya bisa membuat film jenis ini dengan special effect yang canggih. Bicara soal special effect, film ini memang dipoles dengan Computer Graphic (CG) tingkat tinggi. Pembuatan CG dilakukan oleh perusahaan asal Singapura di Batam yang ironisnya pekerjanya 70% orang Indonesia.

“Jadi film ini hampir 100% dikerjakan oleh anak muda Indonesia,” tandas Timo.

Di Indonesia perkembangan film Slasher memang seret. Kebanyakan sineas Indonesia lebih suka menakuti penonton dengan film-film horror klasik yang menampilkan penampakan hantu. Penonton dibuat menjerit ketakutan karena hantu, bukan kengerian yang ditimbulkan oleh adegan yang mencekam. Jadi genre slasher nyaris ditinggalkan.

“Bagaimana tidak, saat kita mencoba menawarkan film ini ke PH-PH besar,kita justru diketawain. Mereka bilang film ini gak bakalan laku, untung ada produser asal Singapura yang justru tertarik dengan film kita,” kekeh Timo.

Produser Film Rumah Dara Fredie Yeo mengatakan tertarik dengan film ini karena film ini beda. Film ini sangat laris di Singapura. Bahkan sempat masuk box office untuk local SIngapura dengan pendapatan lebih dari 200.000 Dollar Singapore. Padahal, budget untuk film ini kurang dari Rp5 Miliar.

“Film ini juga laris di festival-festival. Tak kurang 12 festival tertarik mengikutkan film ini dalam daftar mereka. Kita juga sudah memasarkan film ini di Eropa, dan kawasan Asia lainnya,” tandasnya.

Pengamat Film Indonesia Yan Widjaya mengatakan perkembangan film dengan genre Slasher memang minim. Pada periode 2009 hanya ada tiga film dari puluhan film yang beredar di Indonesia. Tiga film itu antara lain Pintu Terlarang, Darah Perawan Bulan Madu dan Air Terjun Pengantin. Setelah Pintu Terlarang, Film Rumah Dara merupakan film yang patut dibanggakan karena secara kualitas film ini jauh lebih baik dibanding film-film lainnya.

Penikmat film ini sendiri, tegas Yan, memiliki penggemar yang sangat segmented. Anak muda 21 tahun keatas, beberapa kalangan intelektual lebih cenderung menyukai film ini karena lebih real daripada film horor hantu klasik.

“Saya tidak bisa menilai ke depan apakah memiliki prospek yang baik, yang jelas persaingan film Indonesia dengan genre ini sangat sedikit. Peluang jelas ada,” ujar Yan.

Meski demikian, harus ada batasan atau pengetatan usia penonton di gedung bioskop. Pasalnya dampak film ini bisa jadi sangat besar. jangan sampai tragedy anak kecil meninggal karena meniru Limbad terjadi lagi.

“Waktu tayang film Rumah Dara di Jiffest memang ada pengetatan usia penonton. Ini sangat penting agar kedepan tidak sembarang orang bisa menonton film ini,” tandasnya

Di Indonesia, film dengan genre slasher memang jarang dibuat. Persoalannya karena film ini memiliki tingkat kesulitan dan detail yang tinggi. Menurut Yan, membuat film ini membutuhkan effect tingkat tinggi. Artistik dalam film ini juga membutuhkan keterampilan yang luar biasa. Efek darah muncrat, kepala menggelinding, anggota tubuh yang patah merupakan efek film yang sangat sulit dilakukan. Hanya pembuat film Hollywood dan Hongkong saja yang memiliki ketarampilan yang baik membuat film jenis ini.

“Jadi memang sulit sekali. Tak heran film ini jarang diminati oleh sineas muda di tanah air,” pungkasnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar