Sabtu, 01 Oktober 2011

bulan merah jambu

Hari masih prematur dan mimpi masih mencumbui tiap tidur. Tetapi, kau sudah berdiri di situ, di depan pintu. Bik Su membangunkanku. Ada tamu, itu jawabnya kepada wajah bingungku. Dan di situlah dirimu, di ruang tamu, tak diundang namun telah ada, lengkap dengan segalanya yang membuatku jatuh cinta dulu. Saat itu juga aku tahu, bulan merah jambuku, aku akan menjadi merpati sedih di waktu subuh.

WAKTU seakan beku. Aku hanya menatapmu yang balik menatapku. Apa yang membawamu, bulan merah jambuku? Apa yang mengkinikan keberadaanmu yang seharusnya tetap berada pada kurun yang lalu? Lihatlah apa yang kaubawa serta, yang kaubebaskan dari penjaranya: ion-ion dan partikel kenangan yang dengan semena-mena menenggelamkan seluruh adaku, menimbuniku dengan rakus. Mereka yang selama ini terbekap rapi dalam isolasi di penjara bawah tanah berdebu dari hati dan pikiranku. Kudeta tiba-tiba ini membuatku pening dan ingin mengumpat: asu! Tetapi, aku pernah begitu mencintaimu. Empat tahun lalu.

Melangkah kakimu sekali, menimpakan seruas cahaya lampu pada parasmu. Dan aku kian termangu dalam kejutku. Wajah itu pernah tak terlukiskan dalam ingatanku. Begitu samar bagai dipeluk kabut. Aku gagal mengingat bentuk alismu, matamu, hidungmu. Yang kutahu, kamu adalah sesuatu yang indah dalam semu. Masih kuingat malam-malam yang kuiris perlahan dengan mereka-reka wajahmu dalam rindu. Dan ketika aku gagal beribu kali, hanya satu kesimpulanku: aku telah jatuh cinta padamu. Cinta selalu membuatku begitu. Buai romantisnya menyesatkan sepetak memoriku.

Kau menarik segaris senyum, mencoba cairkan suasana dan mungkin juga waktu. Jangan. Jangan senyuman itu. Karena ia yang menguasai mataku dari awal mula untuk mengindahkanmu. Satu sabit indah merah jambu. Sabit yang begitu cantik untuk langitku yang hampa warna. Dan sejak saat itu, aku merelakan diriku berdosa karena mengingininya. Tahukah kau, betapa susah hidup tanpa memikirkan mencumbu sabitmu? Selibat yang gagal. Dosa yang penuh dan gasal. Kini, dengan kau tersenyum lagi, aku ragu adakah aku akan pernah diampuni.

Aku pernah mencoba meninggalkan semua itu. Mencoba untuk menertawakan diri, mengosongkan semua laci hati, mengemasi perasaan dalam koper dan pergi. Aku menolak berlama-lama terhanyut dalam sebuah rasa yang kian lama kian membebatku sedemikian pepat, karena kutahu ia tak akan memuarakanku pada rasa lain selain kecewa yang bejat dan sedih yang sepat. Karena kau tak mencinta. Tetapi, aku naif. Seharusnya aku tahu betapa aku masih terlalu lemah untuk semua itu. Seharusnya aku tahu bagaimana aku hanya bisa mengapung dalam ketidakberdayaan di tengah berjuta rasa cinta. Karena aku tak kuasa untuk tak mencinta.

Karena itu, ketika suatu malam kau muncul di hadapanku, dengan wajah dan sabit indah merah jambu yang seakan kausiapkan hanya untukku, aku tahu aku masih terlalu jauh untuk mendapati diri dalam suatu kesudahberdayaan. Doktor Faustus dan iblisnya yang kita tonton malam itu tak secuil pun mampu merampok indra dan rasaku. Aku terlalu sibuk memuja indahmu. Memandangmu lekat hingga kau bersemu dan memalingkan mukaku dengan tanganmu. Kau membuatku serasa menyelam di antara bintang, o bulan merah jambuku yang malu-malu!

Maka jadilah aku seorang yang tetap berdiri di depan pintu hatimu dengan sekuntum bunga di balik punggung, mencoba berkeras kepala bahwa matahari akan muncul pada akhirnya untuk menghalau mendung. Yah, aku melakukannya. Cinta telah mengudeta kemasukakalan di kepalaku. Dan aku masih terus bertahan, menulikan diri dari logikaku yang kian lama memaki betapa aku hanya seorang rendah, bodoh, dan sia-sia.

Dan memang, bulan merah jambuku, kau tak kunjung mencintaiku. Kau hanya membuatku tiga perempat gila. Kadang kaubuat aku melangit dengan tawa manja dan perhatianmu, namun kemudian kaubanting aku ke bumi dengan ketidakpedulian sedingin Sahara di subuh hari. Tali-tali yang tak tampak mengontrol sendi dan hatiku, menentukan waktu terbit senyumku dan turun senduku. Layang-layang gamang di langit biru.

Keheningan lalu pecah.

"Apa kabar?"

Suaramu. Terdengar begitu asing. Aku diam.

"Baik-baik saja?"

Seandainya kita berada pada masa yang lalu, aku pasti lebih dari baik-baik saja: aku bahagia. Aku sangat merindukan suara itu dulu. Hari-hariku adalah perjalanan padang gurun, dan suara itu mata air yang begitu langka; hanya jika aku sedang beruntung. Pernahkah kau menyangka bahwa sekalipun hanya sekian baris kata yang dibawanya, itu sudah cukup untuk memahatkanku sebuah senyum? Ah, tentu tidak. Kau anak kecil yang bermain panggung boneka.

Dan pertanyaan itu, bulan merah jambuku, betapa aku menginginkannya dulu.

Namun, hanya sekali kau pernah bertanya: "Ke mana kamu kemarin malam? Kutelepon pagi-pagi pun kamu tidak ada. Tidak pulang?" Tanya itu mengetuk telingaku dalam rasa khawatir yang tergaung lamat-lamat. Dalam tiga kalimat itu, ya, tiga dari antara sekian ribu yang pernah kau katakan, aku serasa dicintai. Sejenak aku bersorak-sorai, melupakan kenyataan yang buruk rupa, karena dalam tiga kalimat itu, kau seakan kekasihku. Meskipun kemudian aku tahu, kau hanya membutuhkanku membantu pekerjaanmu. Naik ke langit hanya untuk jatuh ke bumi telah jadi sebuah akrab yang terlalu. Dalam cinta, hatiku lebam biru-biru.Seperti inilah

Jika kau mengharapkan pelukan, maafkan. Saat ini hanya kenangan yang memuai, mendesak, dan dengan elastis terpetakan. Kedua lenganku belum sanggup terbentang.

Kau bergerak mendekat. Dan sesuatu mendahuluimu mencapaiku. Wangimu. Wangi itu tetap sama. Lili putih. Sengaja? Mengapa, bulan merah jambuku? Apa kauperlukan juga indra pembauku untuk membangkitkan lebih banyak lagi partikel ingatan atasmu? Seperti ingatan akan rasa hampir kehilangan kendali ketika kau bermanja di bahuku saat kubantu kau mengerjakan laporan di kamarmu, saat kaubiarkan jemariku yang ragu-ragu mengusap pelan rambutmu. Rasa yang begitu sesak. Tapi aku masih bisa menguasai diri. Dan tetap harus bisa untuk kali ini.

Ada apa kemari?

Jarak kita kian sempit.

"Mencoba memungut kesempatan yang dulu kubuang."

Aku tak menyukai kalimatmu. Aku tak menyukai elok di parasmu dan sabit indah merah jambumu yang semakin menggenggam erat pandang mataku seiring jarak menghilang ke arahku. Aku tak menyukai debar gelisah yang menguat di dalam dadaku. Aku tak menyukai gaungnya yang meracuni otakku untuk merengkuhmu dan memetik sabit itu dengan bibirku. Aku mulai tak menyukai diriku. Dan aku benci ketika aku mulai merasa seperti itu.

Jarak melenyap. Wangimu menciptakan semesta yang membungkusku. Pepat. Seperti rasa itu. Seperti masa lalu. Mengecap kenangan dan kekinian, kumerasa tersesat dalam waktu.

Siapakah kau? Bulan merah jambuku yang lucu? Yang dulu? Yang menelusupkan jari-jarinya di sela rambut di keningku dan mengusapnya pelan seakan takut membangunkanku? (Sejujurnya, aku tidak tidur saat itu. Siapa yang sanggup tertidur di sebelah putri yang cantik bersemu?) Yang mampu menyihirku untuk tak meninggalkannya, hingga aku gagal meskipun hanya dalam inginku? Atau kau bukan semua itu? Siapakah kau? Bulan merah jambuku yang misterius? Yang menghampiriku dalam wanginya, sensual mengajak bermain dengan bias yang bius? Sial. Otakku tak lagi bisa berpikir lurus.

Kau telah persis di depanku. Dan aku adalah patung kayu. Kau memandang tepat ke dalam mataku, kedua tanganmu menyentuh pundakku. Semesta adalah bisu. Atau mungkin tuli singgah di telingaku? Aku tidak tahu. Yang ada hanya pekak debur di dadaku dan hembus napas tertahan dari hidungku dan milikmu. Satuan waktu bagai seorang renta yang berjalan menikmati senja. Dan aku ada di percabangan neraka dan surga.

"Kamu tampan. Masih dan selalu."

Bulan sabit merah jambu itu bergerak jatuh ke atas bibirku. Namun, aku bukan lagi patung kayu. Pikiranku telah kembali, bangkit dari mati suri. Ucapanmu itu bunyi cemeti. Menggores segel ingatan yang kukubur paling dalam. Ingatan akan dirimu yang mencumbu laki-laki itu pada sebuah malam. Persis setelah kau katakan padanya apa yang baru kau bisikkan padaku: "Kamu tampan. Masih dan selalu." Tak peduli adakah patah pada hati lebam biru (yang ternyata tengah ada di balik pintu).

Bulan merah jambu tak mendarat di atas bibirku. Ada yang menolak untuk jadi keledai dungu.

"Ada apa?"

Untuk sedetik, bingung berlompatan keluar dari sorot matamu.Bagaimana dengan laki-laki itu?

"Bukan apa-apa. Tidak pernah sebuah apa-apa. Jangan hiraukan."

Sabit merah jambu mengembang indah. Tetapi, aku tak gembira. Aku merasa ingin muntah. Jika kau bagi-bagikan sabit dan cintamu bagai hadiah, tidakkah kau berpikir untuk setidaknya mengubah kata-kata di setiap kartu ucapannya? Hadiah ini telah kedaluwarsa. Telah kau sodorkan pada laki-laki itu empat tahun lalu, lengkap dengan jawaban yang sama atas pertanyaannya mengenai diriku. Dan bila kau pikir waktu bisa menghapus segalanya, hari ini kau tahu betapa kau keliru. Waktu itu kejam dan pendendam. Ia tak pernah lupa pada sudut-sudut yang kelam.

"Aku mencintaimu."

Sabit itu kembali bergerak jatuh ke atas bibirku.

Seharusnya kau katakan itu empat tahun lalu

Sabit terhenti di dekat cakrawala. Mengotori langit dengan pendar tak percaya.

"Aku...."

Semesta kembali seperti sedia kala. Suara-suara telah pulang ke rumahnya. Dan mentari tampak telah siap menjadikan langit pengantinnya. Saat bagi bulan sabit merah jambu meninggalkan pesta.

"Baiklah, aku akan mengaku dosa...."

Maaf, aku bukan Tuhan.

Seperti mimpi yang pamit pergi, aku mundur melangkahkan kaki. Aku bukan Pinokio-mu lagi.

Kau terdiam, berbingkai kecewa dan kepongahan yang patah. Lukisan sedih yang seakan tak tertahankan. Tetapi, maaf, sekali lagi, aku bukan Tuhan. Tak ada kaki yang melangkah, tak ada lengan yang terentang; aku bertahan.

Sekian tetes waktu lewat dan kau beranjak, membalik badan dan pergi. Ya, pergilah. Bawalah serta seluruh tawanan yang kau bebaskan. Mereka membutuhkan rumah baru; aku telah meruntuhkan penjaraku.

"Lah, ke mana tamunya? Sudah pulang toh? Wah, padahal Bibik sudah bikinkan sarapan."

Iya. Sudah pulang. Dia hanya datang berharap menjumpai merpati sedih di waktu subuh dan memberinya makan. Tapi yang ada bukan merpati. Phoenix, burung api. Dan ia sudah bangkit lagi.

"Burung apa toh. Bibik ndak mengerti. Sudahlah, Bibik ke pasar dulu ya, Non?"

Aku tersenyum dan mengangguk, sebelum lalu rebah di kursi, merenung, menatap plafon.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar