Sabtu, 01 Oktober 2011

Hutan Sehabis Hujan

Hutan Sehabis Hujan

Sudah agak lama sejak terakhir kali aku bertemu dengannya tapi tetap kucari perempuan tua itu di tempat yang sama. Di sanatorium. Tempat indah di pinggir gunung yang udaranya masih sangat jernih. Namanya Sofia. Aku tidak perlu menceritakan mengapa dia berada tempat itu, tapi yang pasti sudah bertahun-tahun lamanya Sofia tinggal, hidup, dan menyulam masa tuanya di sana.

Aku bergerak ke satu titik. Sofia pasti berada di belakang gedung, duduk di halaman berkarpet rumput hijau kecokelatan, menatap pohon rambutan yang berdiri kokoh di sampingnya. Awan menyuguhkan warna putih biru berkilau. Daun-daun masih sedikit rebah diterpa tetesan sisa air dari langit. Dewa habis menangis, aku ingat kata-kata Rudi, kakakku dulu. Ia membohongiku, dasar bajingan cilik. Bodohnya aku saat itu, percaya padanya.

Hujan menandakan peri akan bercinta, bisik Sofia serak.
Hujan turun karena sekarang musim penghujan, tangkisku lembut.
Dia tak menoleh terhadap komentarku. Matanya menerawang ke tempat yang sama.

Aku menggeser dudukku, membuka tas selempangku, dan mengeluarkan botol air kemasan berukuran medium. Angin tidak bergerak sehingga udara lembab terasa menghantam pori-poriku. Aku butuh cairan untuk melepaskan kepungan panas yang terjebak di tubuh.

Mau minum, tanyaku menawarkan. Aku pikir dia pasti juga kepanasan. Ada dua bintik keringat muncul di pinggir telinganya.

Tidak, katanya singkat.
Aku mencari tisu. Sebelum aku menenggak botol minumku, kuhapus dua tetes keringat itu. Kuingat pada lain peristiwa ketika aku melakukan hal yang sama. Menotolkan tisu pada keringat dan air matanya. Kami duduk bersisian persis seperti di waktu-waktu silam lainnya. Perempuan tua itu selalu ingin berada di sebelah kananku. Alasannya mudah, karena dia kidal. Tangan kirinya ingin bebas menyentuh kulitku, memindai pelan-pelan seperti seekor bekicot berjinjit di atas sehelai daun.

Dia ada di sana. Sedang menari dan menungguku, kata Sofia.
Di mana, begitu selalu pertanyaanku.

Di dalam pohon, jawabnya.
Bagaimana mungkin dia bisa ada di dalam pohon, tukasku.

Bisa saja. Karena pohon itu bernyanyi. Mulutnya terbuka dan masuklah ia ke dalam sana, jawabnya serak.

Aku tidak berkata apa-apa lagi. Cerita sama yang selalu diulang-ulang pada saat kami bertemu. Aku bertanya hal yang sama pula, berulang-ulang selama bertahun-tahun. Sejak pohon rambutan ini sekadar pohon kerdil yang setinggi anak usia tiga tahun sampai kini batangnya kokoh berdiri sebagai pusara menyimpan jutaan roh kelabang, ulat, semut, kupu-kupu, lebah, kumbang, kepik, undur-undur, dan serangga kecil lainnya yang telah lama mati. Kami tidak pernah letih berputar-putar di petak jalan yang sama. Sofia menungguku dan aku mencarinya. Di sanalah kami berada, tiap-tiap kali kami bertemu. Dia berkisah tentang satu rahasia, satu cerita, dan satu kisah. Dongeng yang dituturkan berulang bagai musim berganti.

Pohon bernyanyi yang hidup di jantung hutan adalah tempat para peri berkumpul dan bekerja mengumpulkan embun. Demikian Sofia mulai berbicara. Tubuh para peri memantulkan warna hijau toska yang bersinar, seperti warna laut yang dasarnya ditumbuhi jutaan ganggang. Sering kali hutan terlihat bersinar-sinar pada sudut dan tepi tertentu. Itu tandanya para peri sedang menari setelah hujan turun dan embun tersebar di segala tempat.

Peri menari diiringi nyanyian pohon, tanyaku.
Sebuah pementasan hutan luar biasa, jawabnya.

Mengapa aku belum pernah mendengar nyanyiannya, tanyaku lagi.
Sofia enggan menjawab pertanyaan. Dia lebih suka bercerita.

Pikiranku mulai menguap, tapi telingaku masih setia mendengarkan tumpahan kata-katanya. Dulu, puluhan tahun lalu, ketika usianya masih belia, suatu hari Sofia berjalan sampai ke jantung hutan, bertemu dengan pohon raksasa yang tampak sangat anggun. Akar-akarnya mencuat di sepanjang pokok, beberapa menghunjam di bawah tanah. Daun-daun hijaunya sangat jernih, bergetar oleh sepoi angin. Lumut keperakan menutupi batang dan pinggir-pinggir ranting seperti selimut hangat di musim dingin. Pohon itu, dalam ingatannya, adalah pohon tercantik yang pernah dia lihat.

Sofia jatuh bersandar di punggung pohon lalu tertidur dalam buaian degup jantung hutan. Ketika malam jatuh, dia terbangun karena hujan mulai turun. Tak ada setetes air pun yang mengenai baju dan topinya. Lengan pohon itu kokoh melindungi Sofia dari cuaca buruk.

Tidak lama hujan berhenti, meninggalkan wangi semerbak daun dan uap tanah basah. Namun, bukan itu yang membuatnya terpesona. Sofia menemukan rahasia lain yang dimiliki setiap hutan: peri. Peri-peri keluar sehabis hujan. Sayap-sayap runcing mereka berwarna bening berkilauan seperti air danau yang jernih. Tubuh mereka mengeluarkan cahaya hijau seperti semburat fosfor dalam gua. Tetesan air dari langit digantikan bintik-bintik hijau yang melayang-layang. Hutan yang tadinya gelap pekat menjadi terang benderang. Pohon anggun itu berderak, batangnya membuka, dan terdengar nyanyian merdu yang belum pernah didengar oleh Sofia. Bukannya takut, Sofia malah tidak gentar sedikit pun. Ini adalah pertunjukan mahakarya hutan sehabis hujan.

Sofia senang berada di sana. Berkali-kali dia kembali ke jantung hutan, menikmati hutan sehabis hujan, dan berkawan dengan para peri. Ada satu peri yang mencuri hati Sofia. Peri itu berwajah putih pualam dengan mata hijau yang bersinar. Rambutnya hitam bergelombang di dahinya. Jari-jarinya lentik dan lembut seperti gulali. Peri itu memberi hatinya kepada Sofia untuk dijaga. Katanya namanya Orli.

Mereka bercinta; perempuan muda dan peri di bawah lindungan pohon bernyanyi ketika hujan turun di jantung hutan. Orli, Orli, Orli. Namanya indah sekali, seindah hari-hari yang Sofia reguk. Tapi ini adalah rahasia. Kebahagiaan Sofia tidak boleh tercemar ke telinga lain. Para peri berpesan, tidak ada manusia yang boleh tahu. Jikalau mereka tahu, maka habislah seluruh kehidupan yang berpusat pada pohon bernyanyi. Sofia akan kehilangan Orli dan Orli akan kehilangan Sofia.

Di suatu senja yang berkabut saat hujan akan turun, Sofia tak bisa ke hutan karena Ibu memanggilnya. Ada lelaki yang ingin meletakkan hatinya di hati Sofia. Ayah dan Ibu setuju, bahkan Ibu menginginkan perayaan penyatuan hati dilakukan sesegera mungkin. Wajah Sofia memucat. Tidak mungkin, tidak. Hati Sofia telah hilang diberikan kepada Orli, dan hati Orli kini sudah bertahta di relung dadanya.

Sofia berlari, meninggalkan segalanya, kembali ke hutan, kembali ke Orli. Dengan gugup dan diiringi cucuran air mata, dia menceritakan peristiwa itu kepada Orli.

Aku ingin bersamamu selamanya, kata Sofia putus asa.
Sayap Orli berkepak, air mukanya sendu.

Kita tak mungkin bisa selamanya bersama, Sofia. Kau tahu kita berbeda dan orang tuamu pasti takkan bisa mengerti. Kembalilah ke tempat ibumu dan letakkan hatimu pada lelaki itu.

Sebelum Sofia selesai menjawab, Orli telah menghilang. Terbang masuk ke dalam rongga terkelam pohon bernyanyi dan lenyap selamanya. Sekeliling hutan mendadak sunyi. Tak ada lagi nyanyian. Tak ada lagi sinar hijau toska para peri. Tak ada lagi embun yang dulu tinggal di sela jemari pohon. Sofia menundukan wajah dan berjalan gontai, menembus hutan, menuju ke tepiannya.

Tahun-tahun pun berguguran. Sofia masih mencari Orli di setiap jantung hutan yang dia temui. Ada peri-peri lain yang lebih cantik, lebih lucu, lebih indah, dan lebih cemerlang, tapi tidak ada yang dapat menandingi Orli. Sudah puluhan tahun Sofia mencari, tapi Orli tetap tak ada. Pada usianya yang senja, akhirnya Sofia mendengar berita dari peri lain. Orli telah mati. Alkisah, usia peri sangat singkat. Sofia harus bisa merelakan kenyataan itu. Dia menangis sampai jatuh sakit selama bertahun-tahun. Dan kini dia hanya mampu bercerita, meluapkan kenangan indah kepada siapa pun yang mempunyai telinga dan bersedia mendengar, khususnya kepadaku.
***
Malam telah turun. Aku masih duduk di samping perempuan tua ini. Matanya menerawang, menembus pori-pori kegelapan. Beberapa kunang-kunang menari di sekeliling rambutnya. Lucu sekali, cahayanya memahkotai Sofia.

Aku masih memiliki hati Orli, katanya.
Di mana kausimpan, tanyaku.

Di sini, jawabnya. Sofia menunjuk dadanya.
Aku tak ingin bergerak. Seperti tahun-tahun terdahulu, aku selalu bergeming jika aku tiba pada penggalan bagian ini. Tapi entah mengapa, aku mulai bimbang. Aku mengangkat wajahku dan matanya menangkap mataku.

Kemarilah, bisik Sofia sendu.
Apa, tanyaku ingin tahu.

Lihatlah apa yang kusimpan dalam hatiku, katanya.
Aku berharap aku tidak bergerak, tapi toh aku bergerak juga. Kudekati dadanya. Apa yang akan kulihat, aku sungguh tidak mengerti. Tetapi aku tetap mengarahkan mataku ke sana. Sedetik berlalu. Lalu dua detik, disusul tiga detik, tergenapi lima detik. Tak terjadi apa-apa. Aku nyaris membuka mulut, tapi tidak jadi. Pada detik kedelapan, aku melihat sesuatu dalam keremangan malam. Di sana, di dalam dada Sofia. Kuraba leherku yang tiba-tiba berkeringat. Ada cahaya redup berwarna hijau toska, bersinar bagai permata.

Kau melihatnya, tanya Sofia bersemangat. Suara seraknya menjadi jernih, sejernih kolam.

Aku berdeham.
Kau pasti melihat hati Orli di sana, ucap Sofia.

Aku kembali berdeham.
Kini kamu percaya padaku, tanya Sofia.
Aku berdeham tiga kali.

Di belakang Sofia muncul sosok perempuan. Aku kenal perempuan itu. Kurebahkan tubuhku kembali ke kursiku dan kulempar senyum manis kepada perawat.

Selamat malam, Bu, sapanya.
Selamat malam, kataku.

Saatnya makan malam dan minum obat, ucapnya lembut.
Ya, aku tahu, kataku.

Perawat menggamit lengan Sofia dan membantunya berdiri. Tertatih-tatih perempuan tua itu menggerakkan tungkai kakinya, mengikuti langkah perawat yang sedang menuntunnya. Berdua mereka bergerak, bagai siluet di tengah kegelapan malam. Suara jangkrik mulai berderik-derik ketika kulihat sinar hijau toska lembut itu bersinar-sinar di dada Sofia.

Anu..., dengusku heran, kesulitan berkata-kata.
Sofia menoleh padaku. Senyumnya lebar membelah pipi keriputnya.

Kau pasti melihatnya, kan, bisiknya.
Ya, aku melihatnya. Akhirnya aku mengakui malu. Aku tersenyum.

Sofia melangkah meninggalkan aku. Aku berdiri dari kursiku dan terpaku. Mematung, sekuat tenaga menjaga lidahku, tapi aku tidak mampu. Aku ingin berkata dan bertanya. Sudah lama pertanyaan ini lahir dan bersemanyam di tenggorokanku. Sudah terlalu lama.

Diakah ayahku, tanyaku.
Sinar hijau toska itu berdenyut-denyut semakin cemerlang, kontras dengan kegelapan kebun belakang gedung ini. Aku terpesona dan bertanya-tanya. Mengapa bertahun-tahun lamanya aku tidak pernah mampu melihat cahaya itu. Sofia kembali menoleh. Perempuan muda berseragam itu menggamit lengan Sofia seakan mengajaknya terus bergerak. Tapi Sofia bergeming.

Diakah ayahku, Momma, tanyaku dengan bibir kering.
Ayahmu? Oh, bukan, jawab Sofia. Bukan.

Lalu siapa ayahku, tanyaku.
Kau tahu siapa ayahmu, Maudi. Ayahmu tentu saja adalah almarhum suamiku, jawab Sofia.

Aku tidak mengerti. Kuperhatikan gerak-gerik Sofia. Mendadak aku menjadi tegang. Ada sesuatu yang salah di sini. Dia tertatih-tatih mendekatiku setelah menepis lengan perawat yang membimbingnya. Bibir keriputnya bersentuhan dengan telingaku. Ia berbisik cukup lama, sampai angin berdesir melambaikan rambut kelabunya; sampai tiga pasang daun pohon rambutan runtuh dari ranting rapuhnya. Mataku menyipit seperti kucing.

Mari, Bu, mari.
Aku menggeletukkan gigi, menahan rasa. Perawat itu sungguh cerewet. Sofia pamit setelah melemparkan senyum terindahnya kepadaku. Sosoknya yang renta tidak menggelap ketika menjauh. Bayangan hijau toska mengilat itu terus mengikutinya, berpendar gemulai.

Hujan pun turun. Aku tak bergerak, lupa bahwa aku berdiri tepat di bawah siraman hujan. Apa katanya tadi? Hujan menandakan peri akan bercinta. Aku mengusap wajahku yang kini basah. Pipiku. Bibirku. Mataku. Bukan oleh air hujan, tapi oleh air mata. Apa katanya tadi lagi? Aku berusaha mengingat sekuat tenaga. Gema suara Sofia kembali menusuk kepalaku. Ah Maudi, maafkan Momma-mu yang pikun ini. Aku lupa memberitahumu bertahun-tahun lamanya. Tahukah kau, sebenarnya tak ada peri di hutan yang berkelamin lelaki. Tahukah kau, sebenarnya perempuan berasal dari keturunan peri, bukan diciptakan oleh tulang rusuk lelaki. Karena itu, kita semua dinamakan perempuan; empunya peri. Aku memberi tahu rahasia ini, Anakku, karena aku sangat mencintaimu.***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar